Jakarta Layarkepri - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ketentuan kreasi surat bunyi dalam pemilihan kepala wilayah (pilkada) dengan satu pasangan calon alias calon tunggal menjadi model plebisit nan mulai bertindak pada Pilkada 2029.
MK menyatakan bahwa pilkada calon tunggal dengan menggunakan surat bunyi nan memuat nama dan foto pasangan calon serta dua kolom kosong di bagian bawah nan berisi alias memuat pilihan untuk menyatakan "setuju" alias "tidak setuju" terhadap satu pasangan calon tersebut.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh mahasiswa dan tenaga kerja swasta berjulukan Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Salah satu pokok permohonan para pemohon berangkaian dengan kreasi surat bunyi dalam Pasal 54 C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
MK menyimpulkan dalil permohonan para pemohon mengenai dengan kreasi surat bunyi tersebut berdasar menurut norma sebagian. Oleh lantaran itu, MK menyatakan Pasal 54 C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 inkonstitusional bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK menyoroti keterangan dalam surat bunyi nan digunakan pada pilkada calon tunggal saat ini nan bersuara "Coblos pada: Foto pasangan calon alias kolom kosong tidak bergambar".
Menurut MK, narasi keterangan tersebut bukan suatu corak narasi nan utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan karena keterangan tersebut tidak dilengkapi dengan narasi nan menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan.
Oleh karena itu, Mahkamah menilai narasi keterangan dimaksud dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca, mengingat tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju terhadap calon tunggal.
Baca juga: Pemantau berkesempatan jadi pemohon sengketa hasil pilkada calon tunggal
Baca juga: Pengamat: Posisi pemantau sangat krusial pada pilkada calon tunggal
MK beranggapan bahwa kesalahpahaman akibat ketiadaan info alias penjelasan nan utuh dalam keterangan nan dimuat pada kreasi surat bunyi untuk pilkada calon tunggal secara langsung bakal berakibat pada para pemilih dalam mengambil keputusan.
"Akibatnya, terdapat potensi ketidakseimbangan dalam memilih. Dalam perihal ini, nan lebih diuntungkan adalah pilihan nan lebih banyak memuat informasi, seperti pilihan kolom nan memuat foto pasangan calon, komplit dengan nama calon kepala wilayah dan wakil kepala daerah, sehingga condong lebih menarik para pemilih," tutur Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Dalam pemisah penalaran nan wajar, MK menilai kreasi surat bunyi nan demikian tidak memberikan keseimbangan dalam pilkada nan demokratis dan jauh dari asas-asas pemilu nan diamanatkan UUD NRI Tahun 1945.
Untuk memberikan keseimbangan agar asas-asas pemilu tergambar dengan betul dalam pilkada calon tunggal, MK tetap pada pendiriannya nan menghendaki agar kontestasi pilkada calon tunggal kembali menggunakan model plebisit, ialah model nan meminta para pemilih untuk menentukan "setuju" alias "tidak setuju" dengan calon tunggal.
Meski demikian, pilihan tersebut tetap tetap dapat menyisakan persoalan lantaran terdapat pemilih nan tidak bisa alias mempunyai keterbatasan baca-tulis. Oleh lantaran itu, MK berpesan agar KPU menyosialisasikan secara intensif makna kata "setuju" alias "tidak setuju" dalam surat bunyi pilkada calon tunggal.
Pada pertimbangannya, MK juga menyoroti kebenaran bahwa Pilkada 2024 telah memasuki tahap menjelang pemungutan bunyi dan tahapan pencetakan surat bunyi telah dilakukan sehingga model kreasi surat bunyi nan diubah oleh MK tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada pilkada tahun ini.
"Oleh lantaran itu, kreasi alias model surat bunyi baru dengan model plebisit dalam pilkada dengan satu pasangan calon dimaksud, mulai diberlakukan pada Pilkada 2029," imbuh Saldi.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024