Fimela.com, Jakarta Istiqomah sering kali dipahami secara sempit sebagai kebiasaan mempertahankan rutinitas kebaikan nan sudah terbentuk. Misalnya, seseorang nan terbiasa melakukan wiridan setelah sholat mungkin merasa kudu menolak aktivitas lain nan waktunya berbarengan demi menjaga konsistensi tersebut. Namun, pandangan ini bisa jadi kurang tepat jika tidak mempertimbangkan konteks dan situasi nan lebih luas.
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, alias nan lebih dikenal sebagai Gus Baha, memberikan perspektif nan lebih mendalam tentang makna istiqomah. Menurutnya, istiqomah tidak hanya tentang mempertahankan kebiasaan, tetapi juga tentang keahlian untuk beradaptasi dengan situasi nan ada tanpa meninggalkan nilai-nilai kebaikan. Gus Baha menekankan bahwa istiqomah semestinya dipahami sebagai komitmen untuk terus melakukan baik dengan langkah nan lebih fleksibel.
Artinya, seseorang nan istiqomah tetap membuka diri terhadap kesempatan untuk melakukan kebaikan lainnya, meskipun itu berfaedah kudu keluar dari rutinitas nan biasa dilakukan. Dengan demikian, istiqomah bukan hanya soal konsistensi dalam rutinitas, tetapi juga tentang keikhlasan dan responsivitas terhadap kesempatan untuk berkontribusi dalam aktivitas positif lainnya, seperti nan dilansir Merdeka.com dari beragam sumber (13/11).
Memberi salam alias menyapa seseorang nan dikenal adalah bagian krusial dari sikap kesopanan dan niat baik. Semua masyarakat di bumi mempunyai beberapa corak sapaan dan langkah memberi salam saat tatap muka nan baik dan sopan.
Istiqomah Menurut Imam Nawawi
Gus Baha memberikan penjelasan nan jelas mengenai konsep istiqomah berasas pandangan Imam Nawawi. Istiqomah, menurut Imam Nawawi, berangkaian erat dengan keputusan nan diambil berasas ilmu, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu. Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi menyatakan bahwa rumus paling sederhana untuk memahami istiqomah adalah melalui keputusan nan berdasarkan ilmu.
Gus Baha menekankan bahwa keputusan nan didorong oleh nafsu condong membikin seseorang susah untuk tetap istiqomah. Untuk lebih memperjelas, dia memberikan contoh nan diuraikan oleh Imam Nawawi. Misalnya, ketika seseorang telah terbiasa melakukan kebaikan tertentu, seperti membaca Yasin setelah shalat Maghrib, dan tiba-tiba ada kebaikan lain nan lebih mendesak, maka prioritas terbaik adalah meninggalkan kebaikan nan biasa dilakukan demi kebaikan nan lebih mendesak.
Contoh Praktis Istiqomah
Imam Nawawi memberikan ilustrasi nan konkret. Jika seseorang rutin membaca Yasin setelah shalat Maghrib, tetapi kemudian kudu membatalkan aktivitas tersebut lantaran ada personil family nan sakit dan perlu dibawa ke rumah sakit, tindakan tersebut tidak mengganggu prinsip istiqomah. Dalam perihal ini, membaca Yasin tetap dianggap sebagai kebaikan, dan memilih untuk meninggalkannya demi kebaikan lain juga merupakan corak istiqomah.
Dengan demikian, pemahaman istiqomah tidak hanya sekadar melakukan kebaikan secara rutin, tetapi juga melibatkan keahlian untuk membikin keputusan nan tepat berasas situasi nan dihadapi. Istiqomah adalah tentang memilih kebaikan nan paling relevan dan mendesak dalam konteks tertentu.
Istiqomah Versi Gus Baha
Istiqamah, dalam pandangan Gus Baha, adalah konsep nan sering disalahpahami ketika dihadapkan pada dilema antara ibadah pribadi dan tanggung jawab sosial. Beliau menekankan bahwa istiqamah tidak boleh diartikan secara sempit sebagai konsistensi dalam satu corak kebaikan saja, tetapi kudu mencakup kesadaran bakal kebutuhan sosial dan kemanusiaan di sekitar kita.
Misalnya, ketika seseorang tengah beragama alias melakukan kebaikan nan sudah menjadi rutinitasnya, dan tiba-tiba muncul situasi darurat nan memerlukan bantuannya, seperti ada personil family nan sakit, maka memilih untuk tetap pada rutinitas tersebut tanpa merespons kebutuhan mendesak tersebut adalah corak kesalahpahaman dalam memahami istiqamah.
Gus Baha menyoroti bahwa sikap seperti ini tidak mencerminkan pemahaman nan mendalam dari seorang mahir ilmu, melainkan lebih menunjukkan keakuan nan mengabaikan prinsip dari istiqamah itu sendiri. Istiqamah nan benar, menurut beliau, haruslah seimbang antara ibadah pribadi dan tanggung jawab sosial, sehingga tidak menjadikan kepercayaan tampak kaku dan tidak peka terhadap situasi sosial.
Dengan memahami istiqamah dalam konteks nan tepat, kita dapat mengembangkan kebaikan nan berkepanjangan dan saling mendukung, nan mencakup beragam dimensi kehidupan, termasuk kepedulian terhadap sesama.
Follow Official WA Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.